Perencana dan Krisis Legitimasi dalam Masyarakat Kita

Pada tahun 2001, Winarso, dalam sebuah seminar nasional, menulis makalah berjudul Perencanaan dalam Era Reformasi yang mengkaitkan antara situasi krisis yang dialami oleh Indonesia saat itu dengan peran perencana. Makalah ini menarik karena menempatkan konteks sosial politik di Indonesia terhadap peran perencana, sesuatu yang sesungguhnya jarang disentuh pada dekade-dekade. Selain itu, gagasan untuk melakukan pemikiran ulang atau reformasi terhadap peran perencana semakin mengemuka pada saat itu, terutama untuk menjawab persoalan-persoalan yang dialami oleh perencana, seperti pendekatan “baru” yang didefinisikan dalam konteks social learning dan social mobilization (Sofhani, 2001). Beberapa di antaranya melangkah lebih jauh terhadap pendidikan perencanaan (Max Pohan, 2001; Sapei, 2001).

Konteks sosial politik yang berkembang saat itu memang membuat para perencana, baik yang merupakan akademisi, birokrat, dan aktivis sosial mampu “keluar dari kotak”, dengan menganggap perencanaan tidaklah dapat dikerjakan secara terstandar, business as usual. Demokratisasi yang dialami oleh masyarakat Indonesia pada masa sesudah reformasi membuat para praktisi dan akademisi merasa perlu mencari pendekatan-pendekatan baru dalam perencanaan, sekaligus melakukan reposisi terhadap peran perencanaan. Selain itu, perubahan paradigma pemerintahan daerah memberikan pertimbangan mengenai tata pemerintahan baru yang  berdampak terhadap cara merencana di daerah-daerah.

Istilah “krisis” yang disampaikan oleh Winarso sangat menarik disimak, meskipun diawali mengenai pemahaman atas krisis ekonomi yang merembet terhadap krisis politik. Krisis ini nantinya berdampak terhadap kelembagaan pemerintahan dan peran perancana. Sebagian besar makalah menggunakan kerangka pikir Kaushar dan Gardels (1983) yang menyebutkan bahwa peran pemerintah dalam sistem kapitalis digambarkan dalam hubungan antara akumulasi dan legitimasi, yang pada akhirnya berdampak terhadap krisis legitimasi. Ada dilema yang dialami oleh pemerintah antara efisiensi dan legitimasi; pemerintah dituntut untuk bekerja secara efisien, yaitu menciptakan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain legitimasi sangat ditentukan oleh distribusi kesejahteraan di antara kelas-kelas dalam masyarakat. Winarso mencontohkan mengenai pola akumulasi kapital yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dalam kasus pengembangan lahan di Jabodetabek, yang pada satu sisi menciptakan akumulasi capital, tetapi pada sisi yang lain timbul kegagalan dalam menciptakan distribusi sumber daya, terutama bagi warga kota yang miskin. Dengan demikian, timbul pertanyaan tentang peran pemerintah. Seharusnya pemerintah mampu melakukan distribusi terhadap sumber daya untuk menghindarkan terjadinya krisis legitimasi lebih jauh. Untuk mengatasi krisis legitimasi ini, pemerintah perlu meningkatkan peran pemerintahannya dalam melakukan intervensi sosial akibat kegagalan ekonomi. Winarso melangkah jauh kepada peran perencana sebagai pengelola perubahan dan katalisator perubahan, yang menuntut perencana untuk berpandangan jauh ke depan dan lebih terlibat ke dalam proses partisipasi, sehingga demokrasi yang sedang tumbuh dapat dimaksimalkan.

Relevansi dengan Konteks Saat Ini

Krisis ekonomi merupakan bagian dari krisis di dalam sistem ekonomi kita yang tidak dapat dipisahkan dari sistem politik dan sistem sosial budaya. Melalui politik, sistem ekonomi yang bekerja menghasilkan pajak dan pendapatan bagi Negara, yang nantinya digunakan untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Sistem politik pun dalam situasi tertentu mengendalikan sistem ekonomi, melalui regulasi. Sementara itu, sistem sosial budaya berperan menyokong sistem politik melalui dukungan terhadap aparat pemerintahan.

Dalam masyarakat transisi dari masyarakat kapitalis feodal menuju kapitalis liberal, pembagian kelas dalam sektor politik dikurangi, sehingga mengurangi potensi terhadap krisis politik. Dalam pemahaman ini, integrasi sosial tidak lagi menjadi masalah. Namun pembagian kelas masih berlangsung dalam sektor ekonomi, sehingga krisis ekonomi berubah menjadi krisis sosial. Hal inilah yang melanda masyarakat saat itu, sehingga dibutuhkan peran Negara dalam konteks welfare state.

Negara Kesejahteraan muncul untuk melakukan intervensi berupaya untuk menanggulangi krisis ekonomi melalui campur tangan administrasi. Seringkali didengung-dengungkan bahwa Indonesia menganut sistem ekonomi Pancasila yang menekankan terhadap distribusi kesejahteraan yang berkeadilan. Pada intinya sistem ekonomi Pancasila berupaya menciptakan Negara Kesejahteraan.

Negara terlibat dalam pengaturan-pengaturan administrasi menyangkut penerapan kebijakan langsung dan tidak langsung atas dunia kerja. Intervensi ini seringkali mengakibatkan adanya resiko terhadap terganggunya investasi dan larinya modal, yang lebih jauh menjadikan pemanfaatan sumber daya menjadi tidak efisien. Yang terjadi sebelum krisis ekonomi, pemerintah Orde Baru melakukan pemupukan kapital yang menguntungkan kelas-kelas borjuis, yaitu keluarga dan mereka yang dekat dengan keluarga Soeharto.

Karena sistem politik bertanggung jawab terhadap pengelolaan sektor ekonomi, maka krisis ekonomi lambat laun berubah menjadi krisis politik. Hal inilah yang mencuat di Indonesia pada tahun 1997. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah merupakan dampak dari kinerja ekonomi yang memburuk, yang ditandai dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi yang berimbas kepada peningkatan pengganguran terbuka. Tuntutan pemerintah untuk mundur merupakan dampak akibat ketidakpuasan kinerja ekonomi ini. Meningkatnya harga-harga bahan pokok dan BBM pada akhir-akhir ini, merupakan cerminan ketidakmampuan pemerintah mengelola perekonomian, sehingga seringkali bentuk-bentuk ketidakpuasan tersebut dilampiaskan menjadi demonstrasi, kerusuhan, dan aksi massa yang lain.

Namun, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah untuk lebih mencengkramkan gengamannya ke dalam pola Negara Kesejahteraan, meskipun timbul kesulitan-kesulitan dalam menjustifikasi kebijakannya. Pada situasi ini, pemerintah mengalami kondisi yang disebut defisit legitimasi. Pemerintah saat ini sangat sadar terhadap kondisi tersebut. Pemerintahan SBY mampu melakkan mobilisasi terhadap sumber daya yang bersumber dari sistem sosial kultural masyarakat, seperti yang disampaikan Habermas dalam Legitimation Crisis (2004):

“Strategi jamak digunakan untuk masalah seperti ini adalah dengan mempersonalisasikan isu-isu substantif, pemanfaatan secara simbolik media hearing (dengar pendapat), memanfaatkan penilaian pakar, jampi-jampi juridis, serta teknik-teknik periklanan (yang diambil dari pola kompetisi oligopoli) yang langsung menegaskan dan mengeksploitasi struktur prasangka yang ada, memberi warna positif terhadap muatan tertentu dan negatif pada yang lain, dengan cara membawanya kepada perasaan serta dorongan dari motif-motif tak sadar, dan lain sebagainya.”

Pemerintah sangat pandai memanfaatkan media, seperti laporan statistik yang disampaikan secara berulang-ulang mengenai keberhasilan-keberhasilan pemerintahannya. Selain itu, muncul pakar-pakar ekonomi yang pro-pemerintah menciptakan kesan mengenai “kondisi tanpa masalah”. Sementara itu, partisipasi oleh masyarakat dijalankan hanya pada tahap yang sifatnya penyampaian informasi semata.

Pentingnya Memahami Konteks Sosial Politik Perencanaan: Relevansi dengan Peran Perencana Saat Ini

Situasi yang digambarkan Habermas sebagai kapitalisme lanjut memang menimbulkan dilema bagi pemerintah. Pada satu sisi pemerintah dituntut untuk menciptakan efisiensi, namun di lain sisi pemerintah perlu mengumpulkan dukungan untuk mempertahankan legitimasinya.

Perencana seakan berada di dalamsituasi yang sulit. Pertama, perencanaan tidak dapat dilepaskan dari sistem politik yang ada. Sistem politik menuntut kesetiaan massa terhadap kekuasaan, sehingga legitimasi dapat diperoleh. Perencana dapat merupakan bagian dari kepentingan pemerintah untuk pemerolehan legitimasi melalui pendekatan dan teknik sosialisasi, disamping ia dituntut mampu merumuskan kebijakan dan program perencanaan yang menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.

Kedua, perencana merupakan pihak yang berkompeten terhadap alokasi sumber daya. Dalam perkembangan teori perencanaan, perencanaan berfungsi untuk mengalokasikan sumber daya agar pemanfaatan berlangsung efisien dan rasional. Rencana tata ruang dibuat dengan pertimbangan teknis untuk menciptakan efisiensi ekonomi (maupun lingkungan). Permasalahannya, secara yuridis formal perencanaan dipengaruhi oleh pengalokasian sumber daya oleh pemerintah yang secara tidak langsung menentukan wujud dari rencana yang dibuatnya. Kita dapat menyaksikan bagaimana UU Sumber Daya Air mengatur mengenai pemanfaatan sumber air untuk kepentingan komersil atau UU Penanaman Modal yang memungkinkan pelaku bisnis asing berinvestasi dalam jangka waktu yang lebih lama. Kita dapat menilai bagaimana pemerintah bergeming dan tanpa tekanan terhadap PT Minarak Lapindo Jaya untuk mengatasi persoalan sosial dan lingkungan akibat lumpur yang telah mengakibatkan ribuan warga Sidoarjo harus direlokasi. Pemerintah semakin tidak mampu menciptakan legitimasi, karena bekerjanya sistem ekonomi tidak memungkinkan hal tersebut. Perencana pun kehilangan sebagian “kekuatan”-nya untuk mengatur bekerjanya agen-agen ekonomi.

Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi perencana tidaklah mudah. Perencana perlu melakukan pemulihan kepercayaan terhadap institusi pemerintahan dan perencana sendiri. Namun, dengan kewenangan yang terbatas oleh perencana, perencana secara sendirian tidak akan mampu melakukan pemulihan kepercayaan terhadap institusi pemerintahan (dimana perencana dapat menjadi bagian daripadanya).

Perencana dapat melakukan tindakan apa yang disebut oleh Habermas sebagai penerapan kuasa komunikatif (Habermas, 2004). Dalam konteks ini, perencanaan tidak hanya menjadi kepanjangan tangan untuk menjalankan tugas – tugas administratif, seperti program pemanfaatan ruang, pengaturan zonasi, pemberian insentif dan disinsentif, dll., melainkan menekankan kepada kesepakatan diskursif untuk mencapai tujuan-tujuan dalam perencanaan.

Dengan demikian, perencana bukanlah pihak yang menentukan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat melalui perencanaan, seperti selama ini menjadi paradigma umum. Keputusan-keputusan yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat melalui program penataan ruang perlu dilakukan secara diskursif sehingga tercapai kesepakatan. Dengan demikian, perencana memposisikan dirinya komunikator yang menjembatani beragam kepentingan di dalam masyarakat dan lebih sedikit bertindak secara teknis dan yuridis formal. Hal ini tidak mudah. Perencana dituntut untuk mampu bekerja sama dengan masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha dalam mewujudkan pembaharuan makna dari pelaksanaan perencanaan.

Perencana perlu memperkuat kemampuan komunikasinya. Dengan demikian, perencana tidak hanya duduk di atas meja dan menyelesaikan laporan rencana. Siapkah perencana mengambil tantangan ini? [ ]

2008 © Gede Budi Suprayoga

Kategori:

Tinggalkan komentar